Senin, 29 November 2010

HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN

HUKUM PERIKATAN DALAM JASA KONSTRUKSI
Hukum Perikatan
Hukum perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan,peristiwa atau keadaan. Salah satu bentuk dari hukum perikatan adalah kontrak kerja. Agar pihak pemberi tugas dan pelaksana tugas tidak ada yang merasa dirugikan dan puas akan pekerjaan tsb maka perlu dibuat suatu kontrak kerja sehingga masing-masing pihak dapat menyadari,memahami dan melaksanakan kewajibannya serta mengetahui apa-apa saja yang menjadi haknya dan apabila salah satu pihak merasa dirugikan karena terdapat hal - hal yang tidak dilaksanakan pihak lainnya,yang sudah tercantum dalam kontrak kerja, maka pihak tersebut dapat memberikan sanksi kepada pihak lainnya yang telah disepakati bersama, dapat pula menuntutnya ke pengadilan.

Dasar-Dasar Hukum Perikatan :
1. Buku III KUHPerdata
2. Buku III KUHPerdata bersifat pelengkap
3. Buku III KUHPerdata bersifat terbuka
Perjanjian
4. UU – undang-undang semata-mata
5. UU karena perbuatan manusia yang halal dan melawan hukum
6. Yurisprudensi
7. Hukum tertulis dan tidak tertulis
8. Ilmu Pengetahuan

Macam-Macam Perikatan :
1. Perikatan bersyarat suatu perikatan yang di gantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari yang masih belum tentu.
2. Perikatan yang di gantungkan pada suatu ketetapan waktu suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana sedangkan yang kedua suatu hal yang pasti akan datang meskipun belum dapat di tentukan kapan datangnya
3. Perikatan yang bolehkan memilih suatu perikatan di mana terdapat dua atau lebih macam prestasi sedangkan kepada si berhutang di serahkan yang mana yang akan di lakukan

Unsur-Unsur Perikatan :
1. Hubungan hukum
2. Harta kekayaan
3. Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak
4. Prestasi

Azas-Azas Dalam Hukum Perikatan :
1. Asas Konsensualisme
- Kontrak harus didasarkan kata sepakat dari para pihak yang mengadakan kontrak
- Kontrak dilahirkan dari kata sepakat
- Kata sepakat adalah sumber hukum kewajiban kontraktual
2. Asas Kebebasan Berkontrak
- Kewajiban kontraktual hanya dapat diciptakan oleh kehendak para pihak
- Kontrak adalah hasil pilihan bebas individu
- Kontrak adalah bertemunya kehendak bebas para pihak
- Kata sepakat harus didasarkan pada kehendak bebas
3. Asas Kekuatan Mengikat Kontrak
- Segala sesuatu yang telah disepakati dalam perjanjian menjadi suatu kewajiban hukum bagi para pihak yang membuat kesepakatan tersebut
- Para pihak harus mematuhi atau melaksanakan isi perjanjian tersebut.

Contoh Kontrak Kerja Bidang Konstruksi :

Contoh :
KONTRAK PELAKSANAAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN HOTEL

Antara

CV. RESIDENT BOY

Dengan

PT. SUKMAJAYA

Nomor : 1/1/2010
Tanggal : 29 November 2010

Pada hari ini Senin tanggal 22 November 2010 kami yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Irfan Rahman
Alamat : Jl. Sadewa 3, Jakarta Timur
No Telp : 081234567890
Jabatan :
Dalam hal ini bertindak atas nama CV. RESIDENT BOY dan selanjutnya disebut sebagai pihak pertama

Dan

Nama : Edwin Setiadi
Alamat : Jl. Samiaji Raya, Depok
No Telp : 089990876543

Jabatan :
Dalam hal ini bertindak atas nama PT. SUKMAJAYA dan selanjutnya disebut sebagai pihak kedua

Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatan kontrak pelaksanaan pekerjaan pembangunan hotel yang dimiliki oleh pihak kedua yang terletak di Jl. Jamuju Raya no 07, Jakarta Selatan.
Pihak pertama bersedia untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan yang pembiayaannya ditanggung oleh pihak kedua dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal berikut ini :
1. ……………………
2. …………………..
3. …………………..

Setelah itu akan dicantumkan pasal - pasal yang menjelaskan tentang tujuan kontrak, bentuk pekerjaan, sistem pekerjaan, sistem pembayaran, jangka waktu pengerjaan, sanksi-sanksi yang akan dikenakan apabila salah satu pihak melakukan pelanggaran kontrak kerja,dsb.



HUKUM PERBURUHAN

Pengertian Hukum Perburuhan
Hukum perburuhan memiliki pengertian:
1. Menurut Molenaar
Hukum perburuhan adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokonya
mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan
antara penguasa dengan penguasa.

2. Levenbach
Hukum perburuhan adalah sebagai sesuatu yang meliputi hukum yang berkenaan
dengan hubungan kerja.,dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan.

Jadi hukum perburuhan adalah kumpulan peraturan tertulis mauuntidak tertulis yang
mengatur hubungan searah atau timbale baik antara buruh, majikan dan pemerintah didalam
atau diluar hubungan kerja dimana buruh dalam hubungan kerja dimana buruh dalam
hubungan kerja melaksanakan perintah dari majikan dengan mnerima upah.
Pada awal mulanya hukum perburuhan merupakan bagian dari hukum perdata yang diatur dalam bab VII A Buku III KUHPer tentang perjanjian kerja. namun pada perkembangannya tepatnya setelah Indonesia merdeka hukum perburuhan Indonesia mengalami perubahan dan penyempurnaan yang akhirnya terbitlah UU No. I Tahun1951 tentang berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang kerja, UU No. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, UU No. 14 Tahun 1969 tentang pokok-pokok ketenagakerjaan dan lain-lain.

Tujuan Hukum Perburuhan
Tujuan pokok hukum perburuhan adalah Pelaksanaan keadilan sosial dalam bidang perburuhan dan pelaksanannya diselenggarakan dengan jalan melindungi buruh terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak majikan.

Menurut Senjung H. Manulang tujuan hukum perburuhan meliputi:
a) Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan social dalam bidang ketenagakerjaan.
b) Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tak terbatas dari pengusaha misalnya dengan membuat perjanjian atau menciptakan peraturan- peraturan yang bersifat memaksa agar pengusaha tidak bertindak sewenag- wenang terhadap tenaga kerja sebagai pihak yang lemah.

Sumber Hukum Perburuhan
Sumber hukum perburuhan adalah sumber hokum material dan sumber hokum formil. Adapun sumber hokum materiil daru hokum perburuhan adalah pancasila. Sedangkan sumber hokum formil dari hokum perburuhan adalah :
1. Undang-Undang
2. peraturan lain yang kedudukannya lebih rendah dari UU seperti PP,KEPPRES.
3. Kebiasaan Adalah tradisi yang merupakan sumber hokum tertua, sumber dari mana dikenal
atau dapat digali sebagian dari hokum diluar undang-undang, tempat dimana
dapat menemukan atau menggali hukumnya.

Unsur-Unsur dari hukum perburuhan diantaranya adalah :
1. Serangkaian peraturan
2. Peraturan mengenai suatu kejadian
3. Adanya orang yang bekerja pada orang lain
4. Adanya balas jasa yang berupa upah.


Hak dan kewajiban pekerja/karyawan
Dalam UU no 13 Pasal 59 disebutkan syarat kontrak kerja atau yang pada peraturan disebut sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagai berikut: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu

Berikut adalah Kewajban Pekerja/Karyawan :
a) Membayar Upah
b) Mengatur dan memelihara ruangan-ruangan, piranti-piranti, atau perkakas-perkakas dalam perusahaan
c) Memberikan jaminan kecelakaan atau jaminan perawatan karena sakit.
d) Wajib melakukan atau pun tidak berbuat segala apa yang dalam keadaan yang sama sepatutnya harus dilakukan atau tidak diperbuat oleh seorang majikan yang baik.
e) Wajib memberikan surat pernyataan pada waktu berakhirnya hubungan kerja atas permintaan dari si buruh.

Hak dan Kewajiban Pengusaha dan Perusahaan
Berikut adalah Hak Pengusaha dan Perusahaan :
1. Berhak sepenuhnya atas hasil kerja pekerja.
2. Berhak atas ditaatinya aturan kerja oleh pekerja, termasuk pemberian sanksi
3. Berhak atas perlakuan yang hormat dari pekerja
4. Berhak melaksanakan tata tertib kerja yang telah dibuat oleh pengusaha.

Berikut adalah Kewajiban Pengusaha dan Perusahaan :
1. Memberikan ijin kepada buruh untuk beristirahat, menjalankan kewajiban menurut agamanya
2. Dilarang memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, kecuali ada ijin penyimpangan
3. Tidak boleh mengadakan diskriminasi upah laki/laki dan perempuan
4. Bagi perusahaan yang memperkerjakan 25 orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan
5. Wajib membayar upah pekerja pada saat istirahat / libur pada hari libur resmi
6. Wajib memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih
7. Wajib mengikuti sertakan dalam program Jamsostek.

Dibidang Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja ( JAMSOSTEK ) pemerintah mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1992.
Adapun ruang lingkup Jamsostek dalam UU ini yaitu:
1. Jaminan kecelakaan.
2. Jaminan Kematian
3. Jaminan Hari tua
4. Jaminan Pemeliharaan kesehatan

Senin, 01 November 2010

HUKUM PRANATA BANGUNAN

HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN
Hukum adalah sekumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
Pranata adalah kemampuan untuk memahami sesuatu tanpa melalui penalaran yang rasional dan intelektualitas atau dengan kata lain, pranata ini dapat dikatakan sebagai suatu rasa atau perasaan yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu hal tanpa kita tahu dan kita sadari maksud maupun tujuan dari aktivitas atau kegiatan yang sedang maupun yang akan kita lakukan tersebut.
Dengan melihat kedua pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum Pranata Pembangunan merupakan sebuah asas, kaidah atau aturan – aturan yang mengatur manusia dalam melaksanakan pembangunan. Jika dilihat lebih dalam lagi, di antara hukum dan hukum pranata pembangunan sebenarnya mempunyai keterikatan yang sangat kuat. Hal ini dilihat dari sisi maksud dan tujuan dari hukum itu sendiri.
Adanya hukum dalam kehidupan di sekitar kita bertujuan untuk mengatur tingkah laku manusia untuk tidak bertindak melewati batas – batas kemanusiaan yang berlaku dalam masyarakat. Adanya hukum dalam masyarakat juga membuat kehidupan semakin lebih tenang dikarenakan adanya jaminan keamanan dan ketertiban yang dirasakan oleh masyarakat. Begitu juga dengan hukum dalam pranata pembangunan, hukum ini lebih diarahkan kepada tata atur dalam membangun dan juga berperan untuk mengatasi pelangagaran terhadap batas – batas yang telah menjadi hak masyarakat umum. Misalkan dalam kasus ini adalah penetapan KLB, KDB maupun penetapan ketinggian lantai bangunan yang mungkin saja melanggar peraturan – peraturan yang telah ditetapkan sehingga menimbulkan keresahan dari lingkungan sekitar maupun ancaman dan tekanan terhadap penduduk yang berada di sekitarnya.
Pranata pembangunan sebagai suatu sistem adalah sekumpulan pelaku dalam kegiatan membangun (pemilik, perencana, pengawas, dan pelaksana) yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain serta memiliki batas-batas yang jelas untuk mencapai satu tujuan.
Pembangunan sebagai suatu sistem yang kompleks mengalami proses perubahan dari yang sederhana sampai dengan yang rumit/kompleks. Proses perubahan tersebut mengalami perkembangan perubahan cara pandang, beberapa cara pandang tersebut adalah pertumbuhan (Growth), perubahan strukutur (Stuctural Change), ketergantungan (Dependency), pendekatan sistem (System Approach) dan penguasaan teknologi (Technology).

Unsur-unsur pokok dalam kegiatan pembangunan adalah :
1. Manusia
2. Kekayaan Alam
3. Modal
4. Teknologi

Ada tiga aspek penting dalam arsitektur, yaitu :
1. Firmitas (kekuatan dalam konstruksi),
2. Utilitas (kegunaan atau fungsi), dan
3. venustas (keindahan atau estetika)

Dalam penciptaan ruang (bangunan) dalam dunia profesi arsitek ada beberapa aktor yang terlibat dan berinteraksi, adalah pemilik (owner), konsultan (arsitek), kontraktor (pelaksana), dan unsur pendukung lainnya.
Keterkaitan antar aktor dalam proses kegiatan pelaksanaan pembangunan mengalami pasang surut persoalan, baik yang disebabkan oleh internal didalamnya dan atau eksternal dari luar dari ketiga fungsi tersebut. Gejala pasang surut dan aspek penyebabnya tersebut mengakibatkan rentannya hubungan sehingga mudah terjadi perselisihan, yang akibatnya merugikan dan/atau menurunkan kualitas hasil.


UU NO 26 TAHUN 2007

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.

7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

8. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah.

9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.

10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untukmenentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai
dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang.

16. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuangeografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

18. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

19. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

20. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

21. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan system permukiman dan sistem agrobisnis.

22. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

23. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.

24. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan
metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.
35. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.


Pasal 2
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas :
a. keterpaduan;
b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
c. keberlanjutan;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e. keterbukaan;
f. kebersamaan dan kemitraan;
g. pelindungan kepentingan umum;
h. kepastian hukum dan keadilan; dan
i. akuntabilitas.
Pasal 3
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan :
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia.
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
a. akibat pemanfaatan ruang.
Pasal 4
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan.

Pasal 5
1. Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan.
2. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya.
3. Penataan ruang berdasarkan wilayah administrative terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
4. Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan.
5. Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

Pasal 6
1. Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:
b. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana;
c. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan.
2. Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer.
3. Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
4. Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.


UU NO 4 TAHUN 1992

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
2. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan Penghidupan.
4. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur.
5. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
6. Sarana lingkungan adalah fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya.
7. Utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan.
8. Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasrana dan sarana lingkungan, khusus untuk Daerah Khusus Jakarta rencana tata ruang lingkungannya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Jakarta.
9. Lingkungan siap bangun adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari kawasan siap bangun ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang.
10. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan;
11. Konsolidasi tanah permukiman adalah upaya penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh masyarakat pemilik tanah melalui usaha bersama untuk membangun lingkungan siap bangun dan menyediakan kaveling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruangnya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 2
(1). Lingkup pengaturan Undang-undang ini meliputi penataan dan pengelolaan perumahan dan permukiman, baik di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan, yang dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.
(2). Lingkup pengaturan sebagaimana yang menyangkut penataan perumahan meliputi kegiatan pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.

Pasal 3
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.

Pasal 4
Penataan perumahan dan permukiman bertujuan Untuk:
a. memenuh ikebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
b. memwujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur
c. memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional
d. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial , budaya, dan bidang-bidang lain.

Pasal Tentang Perumahan
Pasal 5
(1) Setiap warganegara mempunyai hak untuk menempati atau menikmati dan memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
(2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berperanserta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

Pasal 6
(1) Kegiatan pembangunan rumah atau perumahan dilakukan oleh pemilik hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pembangunan rumah atau perumahan oleh bukan pemilik hak atas tanah dapat dilakukan atas persetujuan dari pemilik hak atas tanah dengan suatu perjanjian tertulis.

Pasal 7
(1) Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib :
a. mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif;
b. melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan rencana lingkungan.
c. melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 8
Setiap pemilik rumah atau yang dikuasakannya wajib:
a. memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal.
b. mengelola dan memelihara rumah sebagaimana mestinya.

Pasal 9
Pemerintah dan badan-badan sosial atau keagamaan dapat menyelenggarakan pembangunan perumahan untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 10
Penghunian, pengelolaan dan pengalihan status dan hak atas rumah yang dikuasai Negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11
(1) Pemerintah melakukan pendataan rumah untuk menyusun kebijaksanaan di bidang perumahan dan permukiman.
(2) Tata cara pendataan rumah sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 12

(1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik.
(2) Penghunian sebagaimana yang dilakukan baik dengan cara sewa-menyewa maupun dengan cara bukan sewamenyewa.
(3) Penghunian rumah sebagaimana dengan cara sewa-menyewa dilakukan dengan perjanjian tertulis, sedangkan penghunian rumah dengan cara bukan sewa-menyewa dapat dilakukan dengan perjanjian tertulis.
(4) Pihak penyewa wajib menaati berakhirnya batas waktu sesuai dengan perjanjian tertulis.
(5) Dalam hal penyewa sebagaimana tidak bersedia meninggalkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian tertulis, penghunian dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya.
(6) Sewa-menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini.

Pasal 13
(1) Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan memperoleh kemudahan dari Pemerintah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 14
Sengketa yang berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan rumah diselesaikan melalui badan peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15
(1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
(2) Pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 16
(1) Pemilikan rumah dapat beralih dan dialihkan dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemindahan pemilikan rumah sebagaimana yang dilakukan dengan akta otentik.

Pasal 17
Peralihan hak milik atas satuan rumah susun dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal Tentang Pemukiman
Pasal 18
(1) Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.
(2) Pembangunan kawasan permukiman sebagaimana yang ditujukan untuk:
a. menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuansatuan lingkungan permukiman.
b. mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah ada di dalam atau di sekitarnya.
(3) Satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang lain saling dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan kesempatan kerja.

Pasal 19
(1) Untuk mewujudkan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, pemerintah daerah menetapkan satu bagian atau lebih dari kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah. bukan perkotaan yang telah memenuhi persyaratan sebagai kawasan siap bangun.
(2) Persyaratan sebagaimana yang meliputi penyediaan :
a. rencana tata ruang yang rinci.
b. data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah.
c. jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.
(3) Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor mengenai prasarana, sarana lingkungan, dan utilitas umum sebagian diarahkan untuk mendukung terwujudnya kawasan siap bangun

Pasal 20
(1) Pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1 dan ayat 2 dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan oleh badan usaha milik Negara atau badan lain yang dibentuk olch Pemerintah yang ditugasi untuk itu.
(3) Pembentukan badan lain serta penunjukan badan usaha milik Negara dan/atau badan lain sebagaimana yang dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Dalam menyclenggarakan pengelolaan kawasan siap bangun, badan usaha milik negara atau badan lain.

Pasal 21
(1) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(2) Tata cara penunjukan sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 22
(1) Diwilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat pemilik tanah sehingga bersedia dan mampu melakukan konsolidasi tanah data rangka penyediaan kaveling tanah
matang.
(2) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah yang bersangkutan.
(3) Pelepasan hak atas tanah di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan hasil konsolidasi tanah oleh masyarakat pemilik tanah, hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik hak atas tanah.
(4) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang belum berwujud kaveling tanah matang, hanya dapat dilakukan kepada Pemerintah melalui badan-badan
(5) Tata cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23
Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.

Pasal 24
Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada Pasal 7, badan usaha di bidang pembangunan perumahan wajib:
a. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang;
b. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah;
c. mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum;
d. membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di dalam atau disekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah;
e. melakukan penghijauan lingkungan;
f. menyediakan tanah untuk sarana lingkungan;
g. membangun rumah.

Pasal 25
(1) Pembangunan lingkungan siap bangun yang dilakukan masyarakat pemilik tanah melalui konsolidasi tanah dengan memperhatikan ketentuan pada Pasal 7, dapat dilakukan secara bertahap yang meliputi kegiatan-kegiatan:
a. pematangan tanah;
b. penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah;
c. penyediaan prasarana lingkungan;
d. penghijauan lingkungan;
e. pengadaan tanah untuk sarana lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 26
(1) Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah.
(2) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan setempat, badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dapat menjual kaveling tanah matang ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.
(3) Kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil upaya konsolidasi tanah milik masyarakat dapat diperjual belikan tanpa rumah.


Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun dalam tahap pelaksanaan, serta, melakukan pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kualitas permukiman.
(2) Peningkatan kualitas permukiman sebagaimana yang berupa kegiatan-kegiatan:
a. perbaikan atau pemugaran;
b. peremajaan;
c. pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
(3) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 28
(1) Pemerintah daerah dapat menetapkan suatu lingkungan permukiman sebagai permukiman kumuh yang tidak layak huni.
(2) Pemerintah daerah bersama-sama masyarakat mengupayakan langkah-langkah pelaksanaan program peremajaan lingkungan kumuh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuni.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.


KESIMPULAN HUKUM PRANATA BANGUNAN

Jadi, Hukum Pranata Bangunan itu terdiri dari kaidah-kaidah atau peraturan pranata untuk melaksanakan suatu kaidah. Hukum digunakan untuk menertibkan. Tapi hukum tidak selalu menjamin keadilan. Sejalan dengan pesatnya teknologi, permasalahan pembangunanpun semakin banyak. Untuk itu permasalahan antara fungsi yang satu dengan fungsi yang lain semakin tidak jelas dan timbulah masalah pranata. Maka kita harus mempelajari hukum pranata untuk menyelesaikan permasalahan dari kasus-kasus yang ada.

Jumat, 22 Oktober 2010

HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN
Hukum adalah sekumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
Pranata adalah kemampuan untuk memahami sesuatu tanpa melalui penalaran yang rasional dan intelektualitas atau dengan kata lain, pranata ini dapat dikatakan sebagai suatu rasa atau perasaan yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu hal tanpa kita tahu dan kita sadari maksud maupun tujuan dari aktivitas atau kegiatan yang sedang maupun yang akan kita lakukan tersebut.
Dengan melihat kedua pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum Pranata Pembangunan merupakan sebuah asas, kaidah atau aturan – aturan yang mengatur manusia dalam melaksanakan pembangunan. Jika dilihat lebih dalam lagi, di antara hukum dan hukum pranata pembangunan sebenarnya mempunyai keterikatan yang sangat kuat. Hal ini dilihat dari sisi maksud dan tujuan dari hukum itu sendiri.
Adanya hukum dalam kehidupan di sekitar kita bertujuan untuk mengatur tingkah laku manusia untuk tidak bertindak melewati batas – batas kemanusiaan yang berlaku dalam masyarakat. Adanya hukum dalam masyarakat juga membuat kehidupan semakin lebih tenang dikarenakan adanya jaminan keamanan dan ketertiban yang dirasakan oleh masyarakat. Begitu juga dengan hukum dalam pranata pembangunan, hukum ini lebih diarahkan kepada tata atur dalam membangun dan juga berperan untuk mengatasi pelangagaran terhadap batas – batas yang telah menjadi hak masyarakat umum. Misalkan dalam kasus ini adalah penetapan KLB, KDB maupun penetapan ketinggian lantai bangunan yang mungkin saja melanggar peraturan – peraturan yang telah ditetapkan sehingga menimbulkan keresahan dari lingkungan sekitar maupun ancaman dan tekanan terhadap penduduk yang berada di sekitarnya.
Pranata pembangunan sebagai suatu sistem adalah sekumpulan pelaku dalam kegiatan membangun (pemilik, perencana, pengawas, dan pelaksana) yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain serta memiliki batas-batas yang jelas untuk mencapai satu tujuan.
Pembangunan sebagai suatu sistem yang kompleks mengalami proses perubahan dari yang sederhana sampai dengan yang rumit/kompleks. Proses perubahan tersebut mengalami perkembangan perubahan cara pandang, beberapa cara pandang tersebut adalah pertumbuhan (Growth), perubahan strukutur (Stuctural Change), ketergantungan (Dependency), pendekatan sistem (System Approach) dan penguasaan teknologi (Technology).




 Unsur-unsur pokok dalam kegiatan pembangunan adalah:
1. Manusia
2. Kekayaan Alam
3. Modal
4. Teknologi

 Ada tiga aspek penting dalam arsitektur, yaitu :
1. Firmitas (kekuatan dalam konstruksi),
2. Utilitas (kegunaan atau fungsi), dan
3. venustas (keindahan atau estetika)

Dalam penciptaan ruang (bangunan) dalam dunia profesi arsitek ada beberapa aktor yang terlibat dan berinteraksi, adalah pemilik (owner), konsultan (arsitek), kontraktor (pelaksana), dan unsur pendukung lainnya.
Keterkaitan antar aktor dalam proses kegiatan pelaksanaan pembangunan mengalami pasang surut persoalan, baik yang disebabkan oleh internal didalamnya dan atau eksternal dari luar dari ketiga fungsi tersebut. Gejala pasang surut dan aspek penyebabnya tersebut mengakibatkan rentannya hubungan sehingga mudah terjadi perselisihan, yang akibatnya merugikan dan/atau menurunkan kualitas hasil.


UU NO 26 TAHUN 2007

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.

7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

8. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah.

9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.

10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untukmenentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.




14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai
dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang.


16. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuangeografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

18. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

19. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

20. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

21. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan system permukiman dan sistem agrobisnis.

22. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

23. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.

24. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan
metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.
35. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.


Pasal 2
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas :
a. keterpaduan;
b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
c. keberlanjutan;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e. keterbukaan;
f. kebersamaan dan kemitraan;
g. pelindungan kepentingan umum;
h. kepastian hukum dan keadilan; dan
i. akuntabilitas.
Pasal 3
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan :
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia.
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
d. akibat pemanfaatan ruang.

Pasal 4
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan.

Pasal 5
1. Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan.
2. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya.
3. Penataan ruang berdasarkan wilayah administrative terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
4. Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan.
5. Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

Pasal 6
1. Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:
b. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana;
c. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan.
2. Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer.
3. Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
4. Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.


UU NO 4 TAHUN 1992
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
2. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan Penghidupan.
4. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur.
5. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
6. Sarana lingkungan adalah fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya.
7. Utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan.
8. Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasrana dan sarana lingkungan, khusus untuk Daerah Khusus Jakarta rencana tata ruang lingkungannya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Jakarta.
9. Lingkungan siap bangun adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari kawasan siap bangun ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang.
10. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan;
11. Konsolidasi tanah permukiman adalah upaya penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh masyarakat pemilik tanah melalui usaha bersama untuk membangun lingkungan siap bangun dan menyediakan kaveling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruangnya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 2
(1). Lingkup pengaturan Undang-undang ini meliputi penataan dan pengelolaan perumahan dan permukiman, baik di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan, yang dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.
(2). Lingkup pengaturan sebagaimana yang menyangkut penataan perumahan meliputi kegiatan pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.
Pasal 3
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.

Pasal 4
Penataan perumahan dan permukiman bertujuan Untuk:
a. memenuh ikebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
b. memwujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur
c. memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional
d. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial , budaya, dan bidang-bidang lain.

Pasal Tentang Perumahan
Pasal 5
(1) Setiap warganegara mempunyai hak untuk menempati atau menikmati dan memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
(2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berperanserta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

Pasal 6
(1) Kegiatan pembangunan rumah atau perumahan dilakukan oleh pemilik hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pembangunan rumah atau perumahan oleh bukan pemilik hak atas tanah dapat dilakukan atas persetujuan dari pemilik hak atas tanah dengan suatu perjanjian tertulis.

Pasal 7
(1) Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib :
a. mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif;
b. melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan rencana lingkungan.
c. melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 8
Setiap pemilik rumah atau yang dikuasakannya wajib:
a. memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal.
b. mengelola dan memelihara rumah sebagaimana mestinya.

Pasal 9
Pemerintah dan badan-badan sosial atau keagamaan dapat menyelenggarakan pembangunan perumahan untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 10
Penghunian, pengelolaan dan pengalihan status dan hak atas rumah yang dikuasai Negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11
(1) Pemerintah melakukan pendataan rumah untuk menyusun kebijaksanaan di bidang perumahan dan permukiman.
(2) Tata cara pendataan rumah sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 12
(1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik.
(2) Penghunian sebagaimana yang dilakukan baik dengan cara sewa-menyewa maupun dengan cara bukan sewamenyewa.
(3) Penghunian rumah sebagaimana dengan cara sewa-menyewa dilakukan dengan perjanjian tertulis, sedangkan penghunian rumah dengan cara bukan sewa-menyewa dapat dilakukan dengan perjanjian tertulis.
(4) Pihak penyewa wajib menaati berakhirnya batas waktu sesuai dengan perjanjian tertulis.
(5) Dalam hal penyewa sebagaimana tidak bersedia meninggalkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang disepakati dalam perjanjian tertulis, penghunian dinyatakan tidak sah atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya.
(6) Sewa-menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini.

Pasal 13
(1) Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan memperoleh kemudahan dari Pemerintah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 14
Sengketa yang berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan rumah diselesaikan melalui badan peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15
(1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
(2) Pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 16
(1) Pemilikan rumah dapat beralih dan dialihkan dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemindahan pemilikan rumah sebagaimana yang dilakukan dengan akta otentik.

Pasal 17
Peralihan hak milik atas satuan rumah susun dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal Tentang Pemukiman
Pasal 18
(1) Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.
(2) Pembangunan kawasan permukiman sebagaimana yang ditujukan untuk:
a. menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuansatuan lingkungan permukiman.
b. mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah ada di dalam atau di sekitarnya.
(3) Satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang lain saling dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan kesempatan kerja.

Pasal 19
(1) Untuk mewujudkan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, pemerintah daerah menetapkan satu bagian atau lebih dari kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah. bukan perkotaan yang telah memenuhi persyaratan sebagai kawasan siap bangun.
(2) Persyaratan sebagaimana yang meliputi penyediaan :
a. rencana tata ruang yang rinci.
b. data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah.
c. jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.
(3) Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor mengenai prasarana, sarana lingkungan, dan utilitas umum sebagian diarahkan untuk mendukung terwujudnya kawasan siap bangun

Pasal 20
(1) Pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1 dan ayat 2 dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan oleh badan usaha milik Negara atau badan lain yang dibentuk olch Pemerintah yang ditugasi untuk itu.
(3) Pembentukan badan lain serta penunjukan badan usaha milik Negara dan/atau badan lain sebagaimana yang dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Dalam menyclenggarakan pengelolaan kawasan siap bangun, badan usaha milik negara atau badan lain.

Pasal 21
(1) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(2) Tata cara penunjukan sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 22
(1) Diwilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat pemilik tanah sehingga bersedia dan mampu melakukan konsolidasi tanah data rangka penyediaan kaveling tanah
matang.
(2) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah yang bersangkutan.
(3) Pelepasan hak atas tanah di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan hasil konsolidasi tanah oleh masyarakat pemilik tanah, hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik hak atas tanah.
(4) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang belum berwujud kaveling tanah matang, hanya dapat dilakukan kepada Pemerintah melalui badan-badan
(5) Tata cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23
Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.

Pasal 24
Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada Pasal 7, badan usaha di bidang pembangunan perumahan wajib:
a. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang;
b. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah;
c. mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum;
d. membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di dalam atau disekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah;
e. melakukan penghijauan lingkungan;
f. menyediakan tanah untuk sarana lingkungan;
g. membangun rumah.

Pasal 25
(1) Pembangunan lingkungan siap bangun yang dilakukan masyarakat pemilik tanah melalui konsolidasi tanah dengan memperhatikan ketentuan pada Pasal 7, dapat dilakukan secara bertahap yang meliputi kegiatan-kegiatan:
a. pematangan tanah;
b. penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah;
c. penyediaan prasarana lingkungan;
d. penghijauan lingkungan;
e. pengadaan tanah untuk sarana lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 26
(1) Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah.
(2) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan setempat, badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dapat menjual kaveling tanah matang ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.
(3) Kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil upaya konsolidasi tanah milik masyarakat dapat diperjual belikan tanpa rumah.

Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun dalam tahap pelaksanaan, serta, melakukan pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kualitas permukiman.
(2) Peningkatan kualitas permukiman sebagaimana yang berupa kegiatan-kegiatan:
a. perbaikan atau pemugaran;
b. peremajaan;
c. pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
(3) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 28
(1) Pemerintah daerah dapat menetapkan suatu lingkungan permukiman sebagai permukiman kumuh yang tidak layak huni.
(2) Pemerintah daerah bersama-sama masyarakat mengupayakan langkah-langkah pelaksanaan program peremajaan lingkungan kumuh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuni.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Jumat, 25 Juni 2010

ROMANTIK ARSITEKTUR

Romantik
Charlemagne's Empire adalah entitas yang tidak stabil tergantung pada subjek kesetiaan pribadinya. kematian-Nya di 814 diikuti oleh abad gelap di Eropa waktu yang ditandai tidak hanya kekacauan bypolitical dan penurunan budaya, tetapi juga oleh gelombang kekerasan dan teror. Eropa Barat menjarah dari laut dan darat dengan Slavia dan penunggang kuda dari Magyar, bajak laut timur Arab dari Mediterania, dan Viking penyerbu dari utara. Tidak ada tempat yang aman, setidaknya dari semua gereja dan biara yang menawarkan merampok terkaya.
Namun, meskipun iklim ini apokaliptik, Eropa selamat. Energi biadab dari penjajah secara bertahap adalah terdisipasi: Vikings menetap di Normandia, agama Kristen, dan di 911 bahkan diakui raja Perancis sebagai tuan mereka; Magyar dikalahkan di 955 dan kemudian menetap di Hungaria, Kekhalifahan Kordoba hancur di dalam 1033 ke sejumlah negara lemah, membuka semenanjung Iberia untuk penaklukan akhirnya oleh Eropa barat. Siklus ketidakstabilan politik, invasi, dan depresi memberi jalan untuk sebuah spiral ke atas kondisi ekonomi meningkat, ketertiban sosial dan politik, kekuatan militer, pembaharuan kota, dan keyakinan baru dan harapan. Commerce perlahan-lahan dibangun kembali, dan dengan itu datang kemunculan bertahap pedagang, pengrajin, dan beragam kelompok lain dari kehidupan perkotaan. kemakmuran baru berarti kebangkitan budaya, yang diresapi dengan semangat baru semangat keagamaan, ini yang paling jelas termanifestasi dalam ziarah massal ke kuil-kuil yang jauh, sebuah gerakan yang memuncak dalam Perang Salib-ziarah militer sering salah arah untuk mendapatkan kembali Tanah Suci dari muslims. Gelombang baru spiritualitas dan energi menyebabkan gelombang-bangunan gereja di seluruh Eropa. Memang, sepertinya seorang biarawan kontemporer, Raul Glaber, "seolah-olah seluruh bumi itu mengenakan mantel gereja putih.''
metafora Glaber dimengerti, namun sejarawan modern telah menyebabkan sesat. arsitektur Romawi terlalu sering dianggap sebagai sebuah fenomena yang belum lengkap tanpa pengembangan tertib asimultaneous bermunculan, setelah 1000, dari berbagai gereja seperti padang rumput yang luas bunga tiba-tiba datang ke mekar. Memang benar bahwa romantik sebagian besar gerakan, spontan internasional. Tapi itu tidak muncul di mana-mana sekaligus, bukan tidak mencapai tingkat yang sama di mana-mana prestasi dan pengaruh. Perkembangan arus utama tidak terjadi Namun pada kenyataannya, itu tidak dapat dipahami terpisah vfrom struktur geopolitik Komplek periode.
Hari ini kita begitu terbiasa dengan pemikiran kedaulatan politiknya dalam bentuk negara-bangsa yang sulit bagi kita untuk membayangkan situasi abad pertengahan, di mana ada hidup berdampingan berbagai otonom, entitas berdaulat. Di dasar ini perancah politik kota kuasi-independen yang mulai muncul pada abad kesebelas dan kedua belas. Di atas adalah tongkat kerajaan kekaisaran romawi suci dalam bentuk dihidupkan kembali pasca-Carolingian. Antara mereka adalah pluralitas kerajaan-Perancis, Inggris,-Burgundy, dan banyak duchies dan lainnya aristokrat, domain feodal. Selain itu ada Gereja: Paus, berdaulat secara politik hanya terhadap negara-negara Kepausan, tapi rohani-dan terkadang, bahkan militer-otoritas besar; uskup kuat; dan perintah monastik besar.

Raja, kaisar, bangsawan, abbas, paus, dan, gelar, kota-ini adalah pelanggan utama renaisans Romawi (dan kemudian, gothic, dan bahkan) arsitektur. Saat ini, lanjut tren arsitektur cenderung seragam nasional, bahkan internasional, dalam lingkup. Tapi pengelompokan gaya dari Romawi adalah banyak jenis-nasional, regional, kadang-kadang didefinisikan tidak dengan batas-batas politik tapi yang phusical seperti daerah aliran sungai (Rhine itu, Loire itu; yang po), atau diindividuasikan antara kota atau perintah dalam gereja. Tentu saja, gaya daerah progresif bisa menyebar melampaui batas-batas tersebut. Normandia adalah contoh tersebut, arsitektur yang diekspor oleh desceddants dari Viking baru mereka penaklukan-Inggris setelah 1066 dan, sedikit kemudian, Italia selatan dan Sisilia. Lebih dari satu abad pertengahan gaya, pada kenyataannya, tidak devined oleh wilayah geografis terpisahkan tetapi dengan fungsi yang umum-seperti dalam tanda kuil-kuil besar di sepanjang jalan ziarah ke Santiago de compastela di spanyol.



Awal romantik di Jerman, Belgia, dan Normandia. Di antara kontribusi paling awal ke aliran romantik utama adalah bahwa dari kerajaan romawi lahir kembali suci, yang terdiri pada abad kesepuluh dan kesebelas sebagian besar dari apa yang sekarang jerman (dan kemudian Italia, yang romantik akan kita bahas nanti). Seperti banyak dari arsitektur Romawi, dengan kekaisaran Romawi (sering disebut ottonian setelah pendiri kerajaan baru) telah merasuki oleh dua kecenderungan berlawanan, satu inventif dan progresif, yang lain konservatif dan nostalgia. The kekaisaran Romawi melihat kembali foundly terhadap karya-karya Charlemagne, tetapi juga menarik pada awal Kristen, kekaisaran romawi, dan bahkan model Bizantium. Mungkin contoh yang paling menarik dari kecenderungan ini retrospektif Munster rhe (Katedral) di Essen, dimulai pada abad kesepuluh akhir (dan sebagian kemudian dibangun kembali). Munster itu dari suatu tatanan kompleksitas yang lebih tinggi daripada gereja belum terlihat di sebelah barat (Gambar 283, 284).




Berdasarkan longgar, model double-berakhir Carolingian dan Bizantium. Dinding clerestory bertumpu pada file bolak kolom dan pilar-sebuah persegi Bizantium dan motif-dinding lorong, dengan cara Byzantium, yang kosong dengan deretan kontinu niches. forechoir terbuka untuk ruang sisi Bizantium-gaya melalui dua tingkatan arcade ganda. Tetapi aspek yang paling rumit katedral terletak di ujung barat bangunan: tidak hanya apse barat atau westwork, tapi kombinasi yang sangat imajinatif dari keduanya. Dilihat dari nave, itu disajikan pengurangan setengah heksagonal kapel palatin Charlemagne di Aa-chen, ditutup dengan mengingatkan setengah kubah-pendentive dari semi-kubah besar dari Hagia Sophia. Apse barat ini diputar setengah menembus ke tengah teluk westwork Essen, di mana ambulatori dibentuk antara layar Carolingian dan dinding barat dari menara Gereja twinstair ditetapkan dalam korespondensi dengan diagonal sisi segi enam-setengah untuk membentuk internal apa sudah berlaku tiga-sisi, Bizantium apse, poligonal. Tiga dan empat kubah pangkal paha bagian dari rawat jalan didukung sebuah galeri, mirip dengan rangement-ar di tulang langit-langit kapel. Di atas ini penetrasi kompleks antar-bentuk Bizantium dan Carolingian, menara westwork pusat meningkat sebagai persegi, kemudian menjadi lentera segi delapan.
Pada Essen kita menyaksikan kebebasan dalam desain dan energi yang kontras tajam dengan kedua semangat perfeksionis model Bizantium katedral dan terbatas penentuan arsitektur Charlemagne. Namun, dalam konteks gerakan romantik yang lebih besar, Essen adalah retrospektif. Masa depan lebih berbaring dengan sebuah gereja kontemporer dari kekaisaran Romawi, s St.Micheal 'di Hildesheim (gbr. 285)



di Jerman utara, dibangun pada tahun 1001-1033 (rusak parah dalam kata perang II dan kemudian dibangun kembali). Dalam hal tertentu s St.Michael 'menyerupai Munster di Basilika Essen-ganda-berakhir dengan transept kembar, silih bergantinya ritmis tiang dan kelompok kompleks galeri di transept. Namun di St.Michael 's elemen ini dikembangkan dengan kejelasan baru. Transept berdiri gamblang didefinisikan terhadap sumbu longitudinal utama gereja. Tempat penyeberangan kuadrat jelas dipisahkan oleh lengkungan listrik diafragma FUL dari paduan suara, transept, dan nave. Ruang nave secara implisit dibagi menjadi tiga teluk hampir persegi oleh silih bergantinya dermaga (a) dan dan kolom (b) dalam pola abbabbabba. Teluk ini hampir sama dengan yang dari penyeberangan dalam ukuran, dan dengan demikian memberikan kontribusi pada disposisi rasional dari ruang interior, dilengkapi oleh keseimbangan volume di luar.
Aspek st. Michaels yang mungkin paling penting musuh masa depan romantik adalah pembagian interior ke dalam lembaran vertikal diskrit ruang cenderung untuk memiliki rencana persegi. Ini "persegi schematism" akhirnya akan berkembang menjadi sangat diartikulasikan oleh sistem modular. Untuk saat ini, bagaimanapun, builers Romawi disibukkan dengan cara membagi interior ke teluk. Salah satu cara ingin memperpanjang penggunaan lengkung diafragma dari Thye menyeberang ke nave itu sendiri. Hal ini terjadi di kontemporer (1000-1046) gereja st. getrue di Nijvel, Belgia sebuah bangunan yang kaku dalam mendukung direduksi menjadi pilar telanjang (gambar 286).




lembaran horizontal ruang di nave dipotong menjadi dua sel berorientasi vertikal ruang, tetapi teluk yang statis dan sukar berbicara.
Titik balik dalam perkembangan ini adalah kekaisaran katedral Speyer (figs.287-89)







dimulai oleh Kaisar Konrad II di c. 1030 dan diselesaikan dalam bentuk kepalan tangan dengan 1060. Ini yang paling monumental romantik waqs gereja direnovasi setelah 1080 untuk membuatnya lebih megah. Tapi injeksi yang Speyer asli, ujung timur megah (paduan suara, persimpangan, dan transept) diimbangi dengan westwork besar seratus kaki tinggi dan lebar yang sama seved sebagai dinding antara gereja dan jalan utama kota. Mendasari seluruh ujung timur adalah makam aula yang diberikan kesan kuat di kolom besar, ia teluk kuat pangkal paha kubah, dan artikulasi tembok. Ini adalah yang terakhir yang paling menarik minat kita di sini untuk itu atisipated artikulasi dinding nave, aspec formal yang paling luar biasa dari Speyer dan paling crutial untuk pengembangan arsitektur bergaya Romawi. Jika salah satu comparese tampilan direkonstruksi dari nave katedral asli dengan St Gertrude, jelas bahwa telah terjadi mutasi mendalam dalam dari tembok. Tidak hanya dinding di Speyer dari thicknese besar, tetapi berbentuk menjadi konfigurasi berlapis-kuat. Dermaga bentuk-persegi tua mendukung arcade dari mana naik-clerestory dinding masih ada, namun lengkungan dan dinding ditetapkan kuat kembali dari depan dermaga, tinggal celah di bagian atas dermaga. kesenjangan ini diisi oleh serangkaian pilarsters besar yang naik ke tingkat clerestory di mana mereka mendukung archese buta framing jendela. Pada sistem double-layered ditekankan lapisan ketiga setengah lebih besar-kolom yang meningkat untuk mendukung lapisan kedua arcading buta di bagian atas dinding.
Dinding nave Speyer adalah tanpa preseden dalam arsitektur abad pertengahan, juga bukan berdasarkan suatu model Bizantium. prototipe nya adalah basilika keempat akhir abad ke-antik constentine di Trier dekat arcading eksternal besar Trier diambil dalam di Speyer, dimana lebih lanjut monumentalized oleh lapisan kolumnar ketiga.
Proporsi kolom ini menyimpang jauh melampaui batasan apapun di zaman kuno, mereka meregang wajar, mengangkat dengan energi luar biasa untuk meningkatkan sensasi vertikal diperkenalkan oleh proporsi teluk nave. Pada awal Speyer kita menemukan dua faktor penting untuk romantik: sistem teluk dan kuat, memproyeksikan sistem dinding dermaga, pilaster, sebuah setengah-kolom-volume besar dari pasangan bata berlapis naik anggun.
Untuk pergi langsung ke struktur-Speyer kemudian yang ditunjukkan penyalut romantik arsitektur-akan melompat ke depan dalam cerita ini. Beberapa perkembangan penting kira-kira arsitektur kontemporer dengan Speyer asli datang pertama. Arsitektur di Perancis utara erat sejajar dengan sekolah kekaisaran, terutama di Normandia di mana bangunan itu crutial tidak hanya untuk perkembangan romantik di Perancis itu, Inggris dan Italia, namun akhirnya juga asal-usul dari arsitektur Gothic. Pada awal abad kesepuluh, Vikings telah dilunasi di Normandia dan mengadopsi "cara-cara beradab" dari france Kristen. Pada abad kesebelas semangat mereka disalurkan ke dalam arus utama sejarah Eropa, tapi energi mereka belum lengkap, dan mantan penyerang retruned ke laut, menaklukkan Inggris pada 1066 dan tak lama kemudian terjajah Italia shouthern dan Sisilia tempat mereka mengungsi Bizantium dan Arab. Yang paling karakter mereka diungkapkan dalam arsitektur mereka.
bangunan penting Banyak romantik Normany yang tahu, tapi dua akan menggambarkan tahap awal. Salah satu kuil abad pertengahan paling terkenal adalah situs yang menakjubkan dari Michel-mont-santo (Gambar 290, 291)




di mana sebuah gereja pertengahan abad kesebelas mahkota konstruksi kompleks biara di pulau kecil berbatu dipisahkan dengan air dari pantai norman di tinggi pasang surut. Mont-Saint-Michel dapat dianggap sebagai mitra norman ke katedral Speyer. saham dinding nave Its fitur lanjutan dari gereja jerman: struktur, kuat berlapis, dengan meningkatnya pilaster kokoh di depan dinding untuk mendukung lengkungan buta di sekitar jendela clerestory, memproyeksikan maju ke ruang nave dengan kolom immenence-naik setengah dari trotoar, membagi nave tajam ke teluk biasa. Tetapi jika kesamaan antara kedua gereja sudah jelas, sehingga perbedaan. Spayer adalah sederhana dan tak henti-hentinya di telanjang nya, bentuk-sive mas. Pada mont-Michel-suci, ini berat, yang setelah spayer menjadi karakteristik dari arsitektur abad pertengahan Jerman banyak, yang dikurangi dengan pengenalan unsur bahwa dalam norman typicially (dan akhirnya Perancis) secara visual meringankan struktur. Dengan demikian, dermaga prismatik spayer sini menerima setengah-kolom yang menyamarkan berat mereka dan menentukan arcade mereka mendukung. Demikian pula, kita temukan dalam mont-Michel-suci bukan bentangan mural tak henti-hentinya dari spayer, tetapi dinding visual diringankan oleh pembukaan galeri yang juga menciptakan zona horizontal yang kuat constrasting dengan garis vertikal dari ketinggian.
Mont-suci-michcel adalah bangunan norman hanya untuk bertahan hidup generasi utuh. Tetapi bahkan dalam reruntuhan, gereja biara Notre-Dame de jumieges (c.1040-67; 292 buah ara,. 293)






mungkin memberi kesan yang lebih baik dari kekuatan Romawi norman awal. Di sini dinding organisasi didasarkan pada sistem ganda-teluk, di lembar bolak dermaga besar dan kecil digunakan daripada serangkaian seragam dermaga kompleks. Dengan sistem ini, dermaga utama membentuk persegi (atau persegi) teluk ganda di nave, sedangkan dermaga kecil membantu dengan mendukung arcade dan dinding perantara. Kenaikan skala nyata dan tekstur menyebabkan skema untuk digunakan secara luas selama abad berikutnya dan bahkan lebih, tidak hanya di Normandia tetapi di seluruh wilayah kekaisaran. Notre-dame dari jumieges terutama penting, selain dari teluk influemential yang ganda, untuk tinggi besar nave dan persimpangan menara. Bagian dari menara masih berdiri, naik jauh di atas nave tinggi, dan dari salah satu merasakan kesan yang luar biasa awalnya dibuat oleh poros curam ruang. Energi tajam pasti dan semangat yang melambangkan bangunan ini barangkali terbaik pada façade yang diawetkan. Berasal dari tradisi barat Karolingian kerja, struktur pusat terkonsentrasi dalam volume curam proporsi brilian dan detail. Sudah diatur ke depan antara dasar menara kembar persegi yang kuat sebagai octagons naik di atas garis-garis atap nave. façade ini tidak hanya salah satu achievsments tinggi sekolah norman, tapi merupakan titik tolak untuk bagian depan gedung kembar-menjulang yang akhirnya mendominasi bagian luar utama katedral Gothic Perancis.

Awal romantik berkubah warna merah anggur dan roman seni "perdana" Di gereja-gereja romantik diperiksa sejauh ini, apses, gang, dan kadang-kadang galeri itu berkubah, tapi bentang besar nave hanya terbuka atau tertutup kayu-kayu atap.. Jadi gedung itu tidak hanya mudah tunduk pada api, tapi juga estetis cacat. interior kayu beratap dapat besar, tapi ketika artikulasi dinding terpahat kuat melewati suatu titik tertentu, tidak ada langit-langit kayu atau atap terbuka, hal-kurang tentang bagaimana kaya itu coffered atau bagaimana kolosal yang balok, cukup dapat bersaing; ketidakseimbangan hasil antara batu besar dan relatif rapuh, kayu tahan lama. Dimengerti, arsitek Romawi yang termotivasi untuk menyelubungi bagian dalam sebuah gereja yang besar dalam kerangka batu terintegrasi, untuk menemukan cara untuk rentang bagian tengah dengan kubah batu.
The compaletely melompat gereja pertama Romawi tidak dibangun oleh struktur yang luas berkenaan dgn duke bangsawan dan kaisar, tapi bangunan sederhana yang dibangun oleh biasa, pelanggan akar rumput di daerah-daerah terpencil di Pyrenees dan Alps barat. Dalam lembah pegunungan terpencil, dihapus dari arus utama budaya Eropa, tradisi arsitektur penasaran berkembang pesat selama berabad-abad. Itulah yang kita sebut arsitektur rakyat, dilakukan oleh generasi tukang batu desa setempat. Dengan cara seniman rakyat hampir di mana-mana tukang batu ini dibangun berat dan kokoh, dengan menggunakan bentuk-bentuk adat dekorasi: Kombinasi stips pilaster dan jalur corbel di dinding eksternal, dan, pada apses, deretan relung tepat di bawah atap. Tapi salah satu aspek utama gaya, biasanya berat dan sukar berbicara di excution, adalah kubah barel.
Satu contoh yang sangat menarik dari subordo dari Romawi-sering disebut dengan nama Romain utama seni membingungkan, pertama adalah gaya romantik-gereja biara canigou ST.martin--du, yang dibangun pada 1001-1026 di situs tajam gagal dalam Perancis Pyrenees (fig.294).



Sebagian besar untuk menampung baik pintu masuk dan biara, gereja dibangun di dua cerita, baik tiga-aisled dan laras-berkubah. biara yang terletak di tingkat rendah, sementara gereja itu sendiri dicapai melalui menara yang besar di tanah tinggi ternak. Bagian bawah digunakan pilar besar, sedangkan tempat kudus atas digunakan kolom kurang menonjol di delapan poin bersama-sama dengan sepasang pilar berbentuk salib buttressing internal di tengah bangunan, di mana titik lemari besi diperkuat oleh arch. Nave dihentikan dalam tiga apses. Meskipun kecil, keterampilan gelap dan sangat jelas, gedung pameran tetap yang cukup besar dalam penanganan situs yang sulit dan kepastian penting dalam pembangunan sepenuhnya berkubah, albeilt dalam skala terbatas.

Pada abad kesepuluh dan kesebelas akhir di dalam dan sekitar burgundy-wich terletak antara dua zona geografis yang mendominasi fase awal romantik-bentuk yang digunakan di St--du-canigou martin dan gereja-gereja terpencil lainnya diambil di mainstream gerakan romantik. Berikut bentuk-bentuk melengkung tapi kasar terdiri difusikan dengan resmi canggih, tapi tidak lengkap melompat, jenis dari Perancis utara dan kekaisaran. Dua contoh menggambarkan tahap-tahap perkembangan yang luar biasa, yang merupakan pendahuluan untuk romantik tinggi.
Gereja biara Cluny-yang paling penting dari lembaga monastik reformasi yang tersebar di seluruh Eropa pada akhir abad kesepuluh dan kesebelas-awalnya dibangun di c. 910 sebagai konstruksi kayu beratap kecil (Cluny II), dan kemudian oleh gereja thitd besar dimulai pada 1088, yang hanya sisa-sisa sekarang berdiri. Hal ini Cluny II bahwa perintah perhatian kita di sini (gbr. 295).



program kompleks Its (dikenal dari penggalian) memiliki lima komponen: sebuah atrium dengan portico arcaded, sebuah narthex, tiga-tiga-bayed aisled diatasi oleh menara kembar di bagian depan barat, sebuah nave tiga-aisled tujuh teluk, sebuah transept dengan chaples timur di ekstremitas dan dimahkotai oleh sebuah menara persimpangan besar; dan, akhirnya, grup timur terdiri dari apse besar di akhir forechoir panjang, flangked oleh dua kapel kecil dan ruang sisi persegi panjang. Hampir entired gereja adalah tong berkubah. Utang bangunan untuk kedua utara dan selatan tradisi jelas: perencanaan yang kompleks, kelompok kembar-menjulang tinggi, yang buldup piramidal tingkat di timur, menunjukkan pengaruh Norman dan sekolah-sekolah Jerman, tetapi kubah, interior ketelanjangan, dan eksterior buttressing dan jalur corbel-meja, semuanya fitur dari provinsi Romawi awal.
Gaya II Cluny disebarluaskan secara luas. Untuk nama hanya satu fitur yang berpengaruh, rencana melangkah ujung timur yang muncul dalam banyak bangunan. Yang kedua di romantik tinggi muncul adalah dicontohkan oleh bangunan burgandian mirip dengan Cluny II dalam banyak hal, di gereja biara St Philibert di tourus, c 960-1120 (colorplate 23; fig.296).



kecuali kurangnya atrium, renders menjulang kembar-nya eksterior kesan umum II Cluny, dengan dinding dihiasi dengan strip pilaster dan jalur corbel dan façade diimbangi dengan penumpukan piramida kelompok estern. Bagian awal dari gereja yang akan didirikan adalah narthex, dengan dua tingkatan, masing-masing dengan tiga gang, semua berkubah. Tubuh gereja, bult di c. 1066-1107, adalah rencana basilican normal. Di sini dermaga silinder yang membentang lebih dari dua kali he kolom narthex, dan di pusat Aile, pikir elemen kolumnar menengah, mereka mendukung sistem kubah barel melintang, satu per teluk. Gang-gang samping selangkangan berkubah. Walaupun efek kubah barel melintang tindakan sendiri-tapi-tressing (masing-masing kubah berbatasan dengan tetangga tidak ada dorongan di dinding clerestory) yang dengan demikian memberikan bukaan clerestory besar, ruang di bawah adalah sangat terfragmentasi oleh sistem kubah. Ini menjengkelkan bagi para arsitek romantik mainstream, karena mereka seaching untuk sarana mendefinisikan teluk tetap mempertahankan kesatuan spasial nave.
Jika tournus nave, namun cerdik struktural, merupakan jalan buntu, tata letak paduan suara, mulai contemporerneously dengan narthex (sekitar 1000) tapi hanya selesai pada abad kedua belas, adalah forward-looking. Meskipun sebelumnya ada sedikit contoh dari apse sebuah amplop oleh ambulantory dari yang sejumlah kapel memancar keluar, tournus adalah contoh paling awal diawetkan dari jenis yang penting paduan suara. Its munculnya sebagai dasar arsitektur dari bukan hanya kebetulan. Perkembangan kapel itu sebagian disebabkan oleh peningkatan jumlah pendeta dan kinerja masing-masing dari massa sehari-hari. Juga, dengan kapel memancar ambulantory diselesaikan pada masalah utama yang dihadapi oleh layar-romantik pembangun dari relik di altar yang berbeda. Untuk relik tidak lagi terdegradasi, sebagaimana mereka telah selama periode Carolingian, dengan keamanan crypts, tetapi ditempatkan pada tingkat utama gereja di mana kawanan peziarah dan penyembah ingin melihat benda-benda suci harus diakomodasi. Dengan evolusi sistem ini ambulantory dan memancarkan kapel-yang pada dasarnya terlibat tidak lebih dari bergerak jenis lama atas crypt koridor annular dan membuka ke luar ke kapel-kerumunan peninggalan umat bisa mengalir di sekitar altar ambulantory dari mezbah, bahkan melihat altar yang tinggi dari sisi dan belakang tanpa mengganggu perayaan ritual yang mungkin berlangsung di paduan suara.

Senin, 04 Januari 2010

Perkembangan Arsitektur

Definisi Arsitektonik
arsitektonik (architectonic): struktur logis yang diberikan oleh akal (terutama melalui pemanfaatan pembagian berlipat-dua dan berlipat tiga), yang harus digunakan oleh filsuf sebagai rencana untuk mengorganisasikan isi sistem apa pun.
arsitektonik, hal yang berhubungan , selaras atau menyesuaikan dengan kaidah arsitektural.
arsitektur , arsitektur adalah ilmu, teknik dan seni perancangan bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup proses perancangan keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, penataan kawasan ,arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain interior/eksterior , furniture dan desain produk.
Arsitektur juga meliputi hasil-hasil proses perancangan tersebut.
Tema yang diusung oleh Unissula itu, pada dasarnya adalah membangun kembali dan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai sumber inspirasi tindakan, perilaku, dan pergerakan. Karenanya menjadi fenomena klasik ketika kemudian terjadi perdebatan pendekatan penyadaran penerapan nilai-nilai agama yang melandasi perilaku itu: apakah dengan pendekatan moral atau struktural.

Pendekatan moral dilakukan melalui penghayatan mendalam terhadap nilai-nilai Islam sebagai koridor perilaku, baik terhadap individu maupun masyarakat. Nilai agama menginspirasi moral untuk bertindak apakah tindakan itu terkait dan untuk kepentingan individu ataupun untuk kepentingan masyarakat.

Pendekatan struktural, dengan menggunakan perangkat-perangkat pendukung seperti berbagai aturan dan ketentuan-ketentuan normatif lahiriah yang memiliki daya koersif terhadap perilaku manusia. Tentu pendekatan terpadu adalah lebih baik, namun persuasi moral diharapkan menginternalisasikan nilai-nilai dan lebih membekas ketimbang dengan ”unsur paksaan” eksternal.

Read more: http://artikel-media.blogspot.com/2009/12/wacana-21-desember-2009-inspirasi.html#ixzzoaTFJYGUK



Pandangan Hidup sebagai Bangunan Konsep Arsitektonik
Jika konsep-konsep dalam pandangan hidup itu saling terkait erat dan merupakan kesatuan pemikiran maka pandangan hidup adalah bangunan konsep yang terdapat dalam pikiran seseorang atau jaringan berfikir (mental network) yang berupa keseluruhan yang saling berhubugan (architectonic whole). Bangunan konsep itu terbentuk dalam alam pikiran seseorang secara perlahan-lahan (in a gradual manner), bermula dari akumulasi konsep-konsep dan sikap mental yang dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya, sehingga akhirnya membentuk framework berfikir (mental framework). Secara epistemologis proses berfikir ini sama dengan cara kita mencari dan memperoleh ilmu, yaitu akumulasi pengetahuan a priori dan a posteriori. Proses itu dapat dijelaskan sebagai berikut: ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang itu sudah tentu terdiri dari berbagai konsep dalam bentuk ide-ide, kepercayaan, aspirasi dan lain-lain yang kesemuanya membentuk suatu totalitas konsep yang saling berkaitan dan terorganisasikan dalam suatu jaringan (network). Jaringan ini membentuk struktur berfikir yang koheren yaitu suatu keseluruhan yang saling berhubungan. Maka dari itu pandangan hidup seseorang itu terbentuk tidak lama setelah pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk konsep-konsep itu membentuk suatu keseluruhan yang saling berhubungan. Konsep-konsep yang terakumulasi itu sudah tentu melalui proses dan mekanisme mengetahui yang menerima dan menolak pengetahuan yang diperolehnya secara selektif. Artinya ketika akal seseorang menerima pengetahuan terjadi proses seleksi yang alami, dimana pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang lain ditolak. Pengetahuan yang diterima oleh akal kita akan menjadi bagian dari struktur worldview yang dimilikinya dan jika akal tidak menerimanya ia tidak menjadi bagian dari pandangan hidup. Orang bisa saja mengetahui faham sekularisme, misalnya, tapi ia tidak mesti menerima faham itu dan menjadi sekuler.
Jika struktur konsep yang masuk kedalam pikiran seseorang itu dilacak secara alami maka maka akan kita bahwa konsep yang pertama kali masuk dalam pikiran seseorang adalah tentang kehidupan, termasuk didalamnya konsep hubungan antar sesama arti dan tujuan hidup (dalam kasus Islam bisa bertambah menjadi arti hidup dunia dan akherat), cara-cara manusia menjalani kegiatan kehidupan sehari-hari, sikap-sikap individual dan sosialnya, dan sebagainya. Sesudah konsep hidup dan kehidupan berkembang dalam pikiran seseorang maka secara alami pula konsep mengenai dunia dimana manusia hidup akan terbentuk. Pandangan dan konsep mengenai dunia di sekitarnya ini akan melahirkan konsep ilmu pengetahuan. Gabungan dari konsep kehidupan, dunia dan pengetahuan ini melahirkan konsep yang lebih canggih lagi yaitu konsep nilai dan moralitas.Dari kombinasi itu semua konsep yang tidak kalah pentingnya adalah konsep tentang diri manusia itu sendiri. Meskipun pengetahuan yang diterima oleh akal manusia itu bersifat acak, namun ketika ia terstruktur dalam pikiran manusia dalam bentuk konsep-konsep ia dapat diindetifikasi.

Professor Alparslan mengkategorikan struktur pandangan hidup menjadi lima
bidang konsep:
1) Struktur konsep tentang kehidupan,
2) Struktur konsep tentang dunia,
3) Struktur konsep tentang manusia,
4) Struktur konsep tentang nilai dan
5) strutktur konsep tentang pengetahuan.
Proses akumulasi struktur konsep diatas dalam pikiran seseorang tidak selalu berurutan, atau bahkan mungkin dalam beberapa aspek simultan, tapi yang penting kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan konsep. Kesatuan konsep ini berfungsi sebagai kerangka umum (general scheme) dalam memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri, dan bahkan mendominasi cara berfikir kita. Maka dalam pengertian ini pandangan hidup merupakan framework berfikir. Ini berarti bahwa teori atau konsep apapun yang dihasilkan oleh seseorang dengan pandangan hidup tertentu akan merupakan produk dari struktur konsep diatas.
http://www.google.com



ARCHITECTONIC JEWERLY

“Architectonic” is defined in Webster’s Third New International Dictionary as, “having the organized structural and rational qualities of architecture.” (G & C Merriam Co, USA, p.113) Architectonic jewelry can best be described as being linear, geometric, and three-dimensional. Jewelry has often been compared to sculpture, but in miniature. Architectonic jewelry could be said to be micro-architecture. Architectonic jewelry is not architectural-revival jewelry where the motives of architecture are superimposed on the jewelry form in a flattened manner as a mere decorative motif. Architectonic jewelry is also not necessarily jewelry designed by architects, though many architects have designed jewelry in this style.
Some early American studio jewelry displays elements of the architectonic style. Margaret de Patta worked in an analytical geometric style that often included varying levels of depth to convey a sense of the three-dimensional. Many of her ‘optical’ compositions include transparent gemstones over opaque materials that are essentially ‘windows’ into the underlying structures of her compositions. Irena Brynner often employed three-dimensional shapes that are evocative of architectural elements, as did the southern California jeweler, Everett MacDonald.
Among the Scandinavians working in the architectonic style, most notable are Bent Exner of Denmark, and Sigurd Persson of Sweden. Exner’s fabulous constructions of the 60s and 70s have the orderliness of molecular structure, and sometimes include kinetic elements. Sigurd Persson’s towering rings of the early 60s were flamboyant examples of the architectonic style, though his work also displayed motives taken from nature. The bracelet design (shown here) by Mirjam Salminen of Finland from the 1960s is essentially architectonic in style.
Probably the most important and influential of jewelry designers working in the architectonic style is Frederich Becker of Germany. Becker’s work often includes optical and kinetic elements, and his designs executed in stainless steel and synthetic gemstones from the late 70s through the early 90s are a pure expression of the architectonic in jewelry.
From the last twenty-five years of American studio jewelry, the work of Helen Shirk in the 70s and 80s comes to mind as indisputably architectonic. Shirks jewelry from this period is the essence of geometric precision, and often three-dimensional. The jewelry of David Tisdale from the 80s onward also embodies the elements of the architectonic style, as well as including an investigation into color and unusual materials. Others working in the architectonic style include contemporary jewelers Eva Eisler, Deborah Aguado, and Zack Peabody. Eisler, an architect, produced a series of jewelry designs in the 1990s that were held together by tension alone. Aguado has often employed architectonic motives in her work, especially in a series of jewelry designs entitled ‘Hoists’ that included elements suspended within the work. Peabody’s designs resemble the brand of modern architecture where the only decorations are the undisguised structural elements. Titles like ‘Brooch 348’, and materials that include stainless steel and niobium further the impression of the precision of engineering and architecture in Peabody’s jewelry.
Though architectonic jewelry can be interpreted as an attempt to find rationality, and safety, in the chaos of daily living, more properly it should be seen as an investigation into pure form in three dimensions without the encumbrance of the associative motives seen in more literary styles of jewelry.

Some reference works:
Messengers of Modernism: American Studio Jewelry 1940 – 1960
Finnish Silver
Danish Jewelry
Jewelry of our time: art, ornament and obsession
Frederich Becker: Schmuck, Kinetik, Objekte
Bent Exner: Smykker
One of a Kind: American Art Jewelry Today
Schmuck der Moderne: Modern Jewelry 1960 – 1998
Jewelry by Architects
Sigurd Persson: En Mastare I Form



“Peirce's Conception of Architectonic and Related Views”
Practically all books and not a few articles on Peirce point out the fact that the American philosopher highly commended the parallel drawn by Kant between a philosophical doctrine and a piece of architecture.* This coincidence is understandable: Peirce's idea of a philosophic architectonic looks to be anything but a casual remark. The editors of the Collected Papers had already a keen perception of the central rôle played by Peirce's idea when they included some of his thoughts on the topic as a foreword to his strenuous and never dismissed efforts toward a classification of the sciences. In this respect they followed Peirce's own consciousness of the importance of a philosophic architectonic when he prefaced five of his most significant metaphysical articles with some further comments on it. We might therefore conclude by saying that Peirce, no matter how little systematic he himself turned out to be at the end, was undoubtedly haunted by the idea of system. But this conclusion, even if correct, is scarcely enlightening. It remains to be seen what kind of system Peirce had in mind and whether some related views may help to shed additional light on his philosophical attitude.
It is not therefore my purpose to discuss whether Peirce's idea of architectonic lies at the very core of his philosophy, as contended, at least implicitly, by Mr. Feibleman, or whether it expresses only one side, the transcendentalist side of it, as argued by Mr. Goudge. In other words, I do not propose myself to look at Peirce as a systemic philosopher, as was so ably done by Mr. Weiss, or to consider Peirce's systematic leanings as an occasional mood as assumed by Mr. Buchler. I suspect that all these excellent interpreters of Peirce's thought might very well argue indefinitely and always find a sufficient reason, namely, a pertinent quotation, for them to remain entrenched in their respective positions. These various possibilities of interpreting Peirce are due certainly to the fact that the American philosopher provided enough conflicting statements on what philosophy is, or rather should be, to permit interminable and, let me add, not necessarily unfruitful discussions on his "real position." But they arise also from the fact that all these interpreters have placed more emphasis on the question of whether or not Peirce possessed a system than upon the question of the kind of system he had in mind when proposing his philosophic architectonic or when in various types of systematic construction, most of them, as it is known, led by a persistent trichomania. My aim is not to give an interpretation of Peirce's system or to reach the conclusion that such an interpretation cannot be given, but merely to examine his theory about systems.
The task is not easy because, to begin with, the word 'system' is a highly ambiguous one. A contemporary logician, for example, will understand by this word something quite different than, say, a classical philosopher. And even if we drop, for the sake of simplification, the logician's idea of formal system—an idea, let it be said in passing, to which Peirce contributed a great deal through his researches on formal logic—and restrict our meaning to the philosophical one, we possess as many ideas of what a system is as there are great systematic philosophies. Baffled by this variety, Peirce took two different courses in his investigations on the idea of system. On the one hand, he was concerned with the problem of what is a system. On the other hand, he seemed anxious to provide a classification of systems. The first problem was dealt with by means of an elaboration of Kant's comparison between a philosophic system and a piece of architecture. The second one was tackled by applying his own doctrine of categories to several outstanding systems of the past. Now, these two different ways of dealing with the problem of philosophic systems are the source of a great deal of confusion. For Peirce was not always eager to make the proper distinction between research on the conception of system and research on different kinds of systems. He seemed to forget that while the former research belongs to the methodology of philosophy, the latter one follows from history or from psychology. In order to avoid useless complexities we shall introduce a further restriction to the present paper. Our analysis of Peirce's architectonic will exclude, therefore, both its most abstract aspect—the doctrine of logical and mathematical formal systems—and its most concrete aspect—the doctrine of the classifications of historical systems. Thus circumscribed, our topic will appear perhaps as a very minor one. Yet, only at the price of narrowing it down to its essentials shall we be permitted to gain a certain clarity on it.
What type of system had Peirce in mind when reviving the Kantian conception of a philosophic architectonic? Before attempting an answer, it will prove convenient to examine Kant's suggestion itself. We shall see very soon that while it contains something that is relevant to Peirce's conception, it would be a grave mistake to proceed hastily and assume that all of the elements of Kant's architectonic are again present in Peirce. The comparison of both ideas will help to understand what Peirce himself, after all, had often acknowledged: that his ideas, on architectonic or on any other fundamental issue, were at the same time a continuation of Kant and a reaction against Kant.
As it is well known, Kant introduced his conception of the architectonic of pure reason in the transcendental doctrine of method and, therefore, at that stage of his thought in which he attempted a rational justification of metaphysics. The architectonic was defined as the art of constructing a system, for knowledge was not accepted as a science unless it possessed a systematic unity. According to Kant, knowledge cannot remain in a rhapsodic state, for then it could not advance the ends of reason. Thus a system was defined as "the unity of various cognitions under one idea." Thanks to this idea the system becomes an organism and ceases to be a mere aggregate. Thus a system can grow from within, without necessarily changing its proportions. In order to obtain such a result, it is necessary to provide a scheme, but a scheme projected in accordance with an idea, namely, from the standpoint of the highest aim of reason. Otherwise, the unity achieved will be a mere technical, but never an architectonic, unity. A technical unity is obtained from the observance of similarities; an architectonic unity, from an idea providing the possibility of the scientific whole. It should be noted that Kant does not propose such an idea as a result of an arbitrary decision of an individual. He is perfectly aware of the fact that in the concrete elaboration of a science, the so-called rhapsodic stage may be inevitable. This inevitability is, however, only psychological; when considered from the point of view of its structure, it will always be clear that, unless it turns out to be a mere aggregate, a science has been outlined according to a definite, although germinal, plan of arrangement. This is due to the fact that the scheme or germ of all lies in reason. But it is also due to the fact that reason is not something alien to and superimposed upon the human mind, but the root of the human mind itself. Reason is the form and substance of human legislation. The essential aims of science coincide with the essential aims of human reason because they are both different aspects of the same reality: the reality of man—or, if you prefer, of the transcendental subject—as the legislator of the universe.
It does not even matter that such a legislator exists nowhere. In harmony with Kant's famous idea of science as an infinite process, the prototype of this legislator—the philosopher—is a being in the making rather than an already existing entity. Legislative power is, therefore, an idea residing in the mind of every man. For that reason, the idea of legislation to which philosophy ultimately boils down is a cosmical conception. Scholastic conceptions are always partial; only the cosmical conception of philosophy is complete. Philosophic architectonic is thus the expression of the ultimate destiny of man, so that what appears at the beginning as a bold theoretical speculation becomes at the end a postulate of practical reason. The famous Kantian jump from theoretical reason to practical reason is no jump at all, for the preeminence of the latter already appears in the frame of the former. That Moral philosophy occupies a superior position in the Kantian system is a well-known fact. But that such a superior position had been proclaimed by Kant while he was still busy with theoretical speculative reason deserves to be better known than it is even by the most fastidious commentators of the German philosopher.
I have dealt with Kant's conception of architectonic in a more extensive way than a short paper would permit, because it seems to me that not a few discussions of the relationship between Peirce and Kant have failed to notice the complexities of their conceptions about architectonic. When considered in full Kant's and Peirce's ideas in this respect strike us as being at the same time very similar and quite dissimilar. It will be rewarding to point out their resemblances and differences before proceeding to an appraisal of Peirce's idea of a philosophical system.
It is unquestionable that Peirce would agree—or rather did agree—with Kant in the postulate that philosophy must by planned and that this planning is by analogy equivalent to the planning of a piece of architecture. It is also unquestionable that both thinkers would hail the idea that "happy thoughts which have accidentally occurred" to the philosophers, as Peirce puts it, are of little help for the development of a comprehensive philosophy. These thoughts may be "pitchforked" in volumes which make easy and pleasing reading. They will never produce, however, a conception covering the whole of reality unless they follow a plan previously laid down by their authors. There are some other respects in which Peirce and Kant completely agree. For instance, that philosophical activity must be deliberate and, whenever possible, highly conscious, that the arbitrary and the individualistic are prejudicial and, last but not least, that Philosophy must be like a building capable of sheltering everybody and not only a few technical-minded philosophers. Yet, when we come to a closer examination of the roots of the agreement we notice that they persist only in so far as the expressions used by both philosophers are based upon vague analogies and, to a certain extent, upon metaphors. Peirce in particular is often fond of such metaphorical usage. He seems even to view philosophy as something almost concrete, made up of solid blocks of stone that the philosophers of innumerable ages polish, combine and distribute—or redistribute—according to a certain blueprint provided by a man of genius—Aristotle or perhaps Hegel. He speaks of the architect's soul, of messages with which an age is charged and which the architect delivers to posterity. He writes about composition, contrasting the easy problems of composition raised by painting with the ponderous questions of distribution of elements posed by building-construction. He tells us about houses made up of papier mâché, that are built with the help of an interesting, but weak idea, as contrasted with houses made up of granitic stuff, capable of withstanding the storms of time because built on the basis of ideas that are not only appealing and subtle, but also sound. He even speaks of a synchronism between the different periods of medieval architecture and the different periods of logic. If Kant had been inclined to the casual way of talking in which Peirce sometimes indulges, he would have undoubtedly hailed with enthusiasm these charming descriptions of architectonic. Unfortunately, his approval would not go very far. As soon as the metaphorical level was abandoned, sharp disagreements would arise between the two philosophers.
The first disagreement is important enough to ruin whatever Kantianism was left in Peirce's philosophy. It concerns the faculty which is supposed capable of mapping out the whole system of a science, namely, of giving a priori the plan of it. Although Kant does not mention specifically any given faculty, only one remains possible on the basis of his assumptions: imagination. Now, the word 'imagination' has various meanings. Two of them seem to be predominant. On the one hand, we can speak of imitative imagination. On the other hand, we can talk about productive imagination. The former type of imagination limits itself to reproducing and occasionally to combining already existing concrete images; the latter type proceeds to arouse general images susceptible of being filled out with actual perceptions. To use Kant's vocabulary, imitative imagination is phantasy, whereas productive imagination is a facultas imaginandi, in the proper sense of this expression, an Einbildungskraft. It is well known the rôle that this facultas imaginandi plays in Kant's theory of the schematism of categories. In fact productive imagination turns out to be a condition a priori of the possibility of unification of diversity in the field of knowledge. I shall not therefore ponder further over this problem. It will suffice to point out that this rather obscure doctrine of imagination is based upon an assumption that permeates the whole of Kantian epistemology: the assumption that understanding is a spontaneous activity, capable of achieving that most controversial aim of all the idealist-minded philosophers, namely, transcendental synthesis. The remnants of epistemological realism that were still operative in the transcendental Esthetics soon became crushed under the powerful impact of an unbridled idealism. Now, in order to build the architectonic unity of the sciences Kant gave free rein to creative imagination, to such an extent that the philosopher—the supreme architect of reason—became the creator assuredly not of the universe, but of the frame of the universe. The fact that the philosopher, according to Kant, is not an artist, must not deceive us in this respect in view of the peculiar meaning given by the German thinker to the word 'artist.' For an 'artist' is 'only' a man who occupies himself with conceptions, while a philosopher is a man who legislates on conceptions. It is true that when reaching this stage of his analysis Kant had to acknowledge that the title of philosopher can be granted to nobody, for its perfection lies only in its idea and not in its concrete fulfilment. None the less, according to Kant, a philosopher is a philosopher only in so far as he is capable of behaving in accordance with that high prototype of knowledge that makes of him a living image of God himself.
It is hardly necessary to point out that such a speculation is entirely alien to Peirce's thought even if we raise to a maximum his metaphysical tendencies and water down to a minimum his undeniable naturalistic and empiristic leanings. Between Kant and Peirce only a common basis of agreement remains: that philosophy has, at least sometimes, a programmatic character and that to be busy with blueprints and tables of contents is an activity that cannot be lightly dismissed by a true philosopher. Beyond this all resemblances peter out until they vanish completely. Now, the main source of disagreement lies in the entirely different, nay opposite ideas that the two philosophers had about the meaning of the word 'system.' A few words on this point will therefore be needed before proceeding further in our analysis.
From what has been said, Kant's idea of a system appears to be quite clear: a system is something completed in itself, no matter how much time mankind needs in order to grasp it entirely. It will perhaps be argued that Peirce is at times quite close to such a postulate of completeness. When he proposed "to erect a philosophical edifice that shall outlast the vicissitudes of time" and announced that his undertaking was "to make a philosophy like that of Aristotle, that is to say, to outline a theory so comprehensive that, for a long time to come, the entire work of human reason, in philosophy of every school and kind, in mathematics, in psychology, in physical science, in history, in sociology, and in whatever other department there may be, shall appear as the filling of its details," he seemed to be most faithful to the aforementioned ideal of completeness. Yet, even in this passage—assuredly the most unbridled of all passages written by Peirce about architectonic—a few restrictions appear that belie any hopes that Peirce had yielded to speculative idealism. To begin with, Peirce stresses the temporal condition of the systematic undertaking. Furthermore, he speaks of a very broad outline, solid and unshakable enough not to be easily undermined, but also vague and rough enough to permit enlargement and, if necessary, modification. If that was not sufficient to convince the reader that Peirce's philosophic architectonic is anything but a universal legislation, he adds a few though convincing lines about that most permanent feature of his thought: fallibilism. To find out and not to prescribe is, avowedly, the main aim of Peirce's philosophy, not only when he speaks, to use again Mr. Goudge's interpretation, the empiricist and naturalist language, but also when he indulges in the transcendentalist vooabulary. Thus to present a philosophic blueprint to be filled up by the centuries, is not to postulate a system that is, or will be, complete, but to foster a system that is not, and can never be, completed. 'System' means in Peirce's philosophy a body of compositions which must unceasingly and actively be tested. At no moment should a system be looked at, as Peirce puts it, with a "vacant eye."
Many reasons might be adduced to explain why Peirce's conception of a philosophic architectonic is an open rather than a closed one. It will suffice to point out two of them.
First, a system applies to the whole of the sciences. But sciences are not rigid schemata; they are living historical entities. For this reason, no abstract definition can ever be given of a science. In this respect, the famous distinction proposed by Peirce between laboratory and seminary philosophies must be taken at its face value. In a laboratory, science is an object for inquiry; in a seminary, it is at most a subject of dissection. In a laboratory, science is a living organism; in a seminary, a dead issue. Like the universe, science is permeated with continuous growth. Now, if architectonic is a blueprint for the sciences, it must not be a schematic problem, but an outline capable of following the meanderings and windings of science. The great success of Aristotle's philosophy was due precisely to the faithfulness of the Greek philosopher to this postulate of flexibility. And "the secret of Hegel" consisted in nothing but in his idea of growing continuity. It is therefore no longer necessary to interpret Peirce's statement, "My whole method will be found to be in profound contrast to that of Hegel: I reject his philosophy in toto," as an expression of naturalism, and his statement, "My philosophy resuscitates Hegel, though in a strange costume," as a profession of faith in transcendentalism. For the "strange costume" means only the disguise adopted by a philosopher who, while believing in growth and continuity, firmly assumed that these conditions are to be tested in a laboratory and not in a seminary.
Secondly, Peirce never admits that the building blocks of a philosophic architecture occupy their fixed and never changing places in the whole. In a similar way in which a sign which in a given logical system appears as primitive can appear in another system as defined, any of the conceptions out of which a philosophic architecture is composed can appear either as primitive or as defined. If mathematical axioms themselves have been discredited as axioms, namely, as self-evident truths, and have turned out to be postulates or conditions for the development of hypothetico-deductive systems, there is no reason why the so-called metaphysical axioms must remain unquestioned. But to assert that there are no metaphysical axioms is tantamount to assuming that the building blocks of philosophic architecture are interchangeable. Thus Peirce's speculative architectonic may very well fit into a laboratory philosophy and therefore remain faithful to that "first rule of reason": not to block the road of inquiry.
The expression 'related views' in the title of this paper appears in the plural. It should be expected therefore that some other conceptions of architectonic besides Kant's ought at least to be mentioned. I shall proceed to do so in a most sketchy way.
To the best of my knowledge, only six philosophers besides Kant and Peirce have introduced the word 'architectonic' into their philosophies: Aristotle, Leibniz, Lambert, Wronski, Warrain and Bronstein. Wronski, Warrain and Bronstein are irrelevant for our purpose, not only because their conceptions of architectonic could not have been known by Peirce, but also because they are in many senses of an entirely different character. Aristotle's conception is too general to be included as a precedent. As for Leibniz, his use of the word 'architectonic' is tied up with his doctrine of final causes. Although I would not be in the least surprised to find that Kant drew his idea from Leibnizian sources, he obviously worked it out in such a way as to make it almost unrecognizable to a faithful Leibnizian. At any rate, it would be far-fetched to suppose a direct relationship between Leibniz and Peirce in this respect, for the American philosopher, who declared Leibniz to be a great and singular genius and "one of the minds that grow," did not seem to have realized the Leibnizian precedent. Only Lambert remains as a possible subject of inquiry. An interesting subject, indeed. For Peirce might have found in Lambert a doctrine of architectonic that bears some resemblance to his own efforts toward combining bold speculation with strong empiricism. Lambert's architectonic is certainly comparable to Leibniz-Wolffian ontology. But whereas this ontology was concerned with the realm of thought as a realm of mere possibilities, Lambert continued in his two-volume work on Architectonic the same efforts initiated in his Neues Organon and tried very hard to develop the "the doctrine of truth," the "doctrine of reality," and "the doctrine of thought" in such a way as to present a blueprint for all possible sciences. How to relate logical concepts with metaphysical concepts, mathematical truths with factual truths, analysis with experience and observation, were the great aims of this much too neglected philosopher. Needless to say, he indulged in all kinds of unwarranted assumptions, so that his approach turned out to be far too speculative for the taste of any, however moderate, empiricist. Yet, we can discover in his analyses a serious attempt to find out a way of organizing the system of the sciences without necessarily having recourse, as Kant had, to transcendental legislation and without losing sight of the fact that no metaphysical truth can subsist unless filled up, so to speak, with the stuff of experience and scientific observation. Now, if Peirce had a consistent ideal throughout his life, it was certainly the one that Lambert strenuously maintained. I do not for a moment suggest that there is any direct influence of Lambert on Peirce in the above respect. Although Peirce—whose historico-philosophical erudition was truly overwhelming—was familiar with some of Lambert's doctrines and even referred on one occasion to Lambert's Arcitektonik, we have no reason to suppose that he wanted to go beyond the specific issues that prompted him to bring in the name of the Alsatian thinker: the nature of the so-called geometrical axioms, or the use of Eulerian diagrams. However, if we speak of related views and not of direct influences, Lambert's conception of architectonic appears to me as more related to Peirce's than any of the others, not excluding the Kantian. It would not be entirely useless for an understanding of Peirce's thought to carry this merely hinted at analogy a little further.
Some Referensi Work : Ferrater Mora, José. “Peirce's Conception of Architectonic and Related Views.”



TENTANG BENTUK ARSITEKTONIS

Sejauh ini kita selalu meneliti pentingnya fungsi dan konstruksi dalam kompetisi arsitektur. Haruskah kita mempertimbangkan suatu fakfor. Adakah hal lain pada pengertian arsitektur selain fungsi dan konstruksi. Adalah persyaratan-persyaratan estetika yang menunjukkan bahwa arsitektur tidak bergantung pada fungsi dan konstruksi ? Menurut mandat asli kita, sebuah bangunan dapat diterima sebagai arsitektur hanya bila dua faktor dasar diperkaya dengan kepekaan estetika.
Dengan menguraikan kedua faktor dasar tersebut. Kita tidak secara eksklusif memebahas tentang atribut-atribut koordinasi fungsional dan sistem-sistem konstruksi faktual dan teknikal secara murni, tetapi kita selalu buru-buru menekankan nilai-nilai formal hasil yang diakibatkan. Apakah dengan demikian hal ini menyebabkan pembahasan mengenai bentuk aristektonik secara berlebihan.

1. Ada ruang-ruang dan obyek-obyek aristektural yang memiliki arti abstrak, simbolik dan budaya sebagai monument-monumen. Mereka tersebut dapat dirancang tanpa bergantung pada fungsi dan konstruksi, semata-mata tergantung pada prinsip-prinsip estetika.
2. Dalam bangunan seni membuat indah “sangat berguna” memerlukan lebih dari beberapa trik-trik sederhana. Saat kita membahas tentang “komposisi arsitektur” sebelumnya kita memiliki suatu paket aturan yang sangat rumit dibenak kita operator-operator erstetika arsitektur. Hal-hal tersebut seperti yang kita lihat pada saat ini, tidak boleh rumit dari aturan-aturan komposisi dalam musik.
3. Bagi arsitek yang rajin. Dimensi politik yang sering dinyatakan oleh Le Corbussier, pada akhirnya bukanlah pemberian dari langit. Ia harus mengerti metode-metode rasional dimana ia dapat mencapai dimensi-dimensi tersebut. Tidak ada aturan-aturan yang mati atau hukum-hukum absolut yang menjabarkan kreasi bentuk arsitektural dan jaminan untuk memenuhi setiap kondisi estetika. Jadi sesuai dengan potensi-potensi publik kita. Selama proses penciptaan arsitek, seperti para artis lainnya, harus merasakan denga cepat, ketika proses-proses pemikiran rasional sudah lebih dan ketika proses intuitif mengambil alih.

Proses perancangan arsitektural dapat diringkas sebagai berikut :
1. Pertimbangan-pertimbangan umum mengenai sekuen fungsi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan bersama program desain tertentu. Pemilihan jenis konstruksi dan bahan-bahan yang sesuai.
2. Berikutnya kita harus menentukan pola-pola geometris mana yang harus diikuti oleh tata letak arsitektural. Dalam banyak kasus, seseorang hanya mencapai suatu keputusan setelah sejumlah percocabaan dalam berbagai arah yang pernah dibuat dan menjadi jelas geometri mana yang paling sesuai untuk memenuhi suatu program tertentu dan batasan-batasannya.
3. Kini hanya teka-teki aritmatika semata-mata yang mulai mengambil bentuk. Bentuk-bentuk geometris yang digambar diatas kertas merupakan bagian-bagian yang digabungkan yang perlu dirasakan dalam bentuk dua dimensinya sebelum diperoyeksikan keatas dan di koordinasikan.
Mula-mula kita menjabarkan ruang dalam sebuah rumah sebelum membungkuskan kulit mengitari denah arsitektural dan menformulasikannya menjadi suatu bangunan. Pada saat ini seseorang mengadakan koreksi-koreksi estetika bekerja dari dalam ke luar atau dari luar ke dalam.
4. Ruang belakang padat, bidang datar, garis dan titik mentaati aturan-aturan komposisi ruang. Elemen-elemen tersebut dapat diubah atau dimanupulasi secara arstistitik. Tanpa mengharap untuk menguraikan pada titik ini mengapa teknik distorsi ini atau digunakan pertama-tama saya harus memperkenalkan anda pada aturan-aturan tersebut dan kemudian dengan bantuan contoh-contoh menyingkap penyebab proses-prosesnya.
5. Semau proses komposisi ruang ini dalam rasa geometris dapat memimpin kearah bentuk-bentuk teratur, tidak beraturan dan hibrida.
6. Skala atau rasio geometris merupakan faktor terakhir dan paling dominan dalam proses perancangan arsitektural.

REFERENSI :
http://artikel-media.blogspot.com/2009/12/wacana-21-desember-2009-inspirasi.html#ixzzoaTFJYGUK
http://www.google.com
Messengers of Modernism: American Studio Jewelry 1940 – 1960
Finnish Silver
Danish Jewelry
Jewelry of our time: art, ornament and obsession
Frederich Becker: Schmuck, Kinetik, Objekte
Bent Exner: Smykker
One of a Kind: American Art Jewelry Today
Schmuck der Moderne: Modern Jewelry 1960 – 1998
Jewelry by Architects
Sigurd Persson: En Mastare I Form